Sejarah Ulee Cot Seupeng



ASAL MULA PEMBERIAN NAMA GAMPONG ULEE COT SEUPENG

Ulee Cot Seupeng adalah sebuah desa atau gampong, yang terletak di Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, Indonesia. Desa ini memiliki posisi strategis dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Aceh.

Pemberian nama Ulee Cot Seupeng tidak hanya sekadar penamaan, tetapi mencerminkan makna yang mendalam dan sejarah yang kaya. Nama \"Ulee Cot\" dapat diartikan sebagai suatu simbol yang terkait dengan aspek kehidupan masyarakat setempat, sedangkan \"Seupeng\" menambahkan dimensi lokal yang unik, menunjukkan hubungan historis dan kultural dengan wilayah tersebut.

Sejarah desa ini sangat berakar dalam tradisi masyarakat Aceh, yang dikenal dengan kearifan lokal dan adat istiadat yang kaya. Kisah-kisah mistis yang mengelilingi nama desa ini menambah daya tarik dan memberikan makna spiritual bagi penduduknya. Secara keseluruhan, Ulee Cot Seupeng bukan hanya sekadar lokasi geografis, melainkan juga representasi identitas budaya dan warisan sejarah masyarakat Aceh.

Menurut cerita yang disampaikan oleh para tokoh masyarakat Gampong Ulee Cot Seupeng, pemberian nama gampong ini dilatarbelakangi oleh sebuah kisah yang sangat unik dan menarik. Di masa lalu, sebelum Indonesia merdeka, terdapat sebuah pohon raksasa yang diperkirakan berusia puluhan tahun, dengan ketinggian yang mencapai sekitar ±500 meter. Pohon ini tumbuh subur di kebun milik Alm. saruhung yang merupakan bagian dari masyarakat Seupeng, dan dikenal dengan nama \"Lampoh Saruhung.\"

Pada awalnya, pohon tersebut dikenal sebagai pohon Ceupeng. Namun, seiring berjalannya waktu, nama tersebut mengalami perubahan. Perubahan nama ini terjadi karena kebiasaan masyarakat setempat, di mana salah satu warga tidak dapat mengucapkan huruf \"C\" dengan baik. Akibatnya, sebutan \"Ceupeng\" bertransformasi menjadi \"Seupeng,\" yang kemudian menjadi nama resmi gampong ini.

Pada masa lalu, masyarakat Gampong Ulee Cot Seupeng meyakini bahwa pohon Seupeng memiliki aura supranatural yang kuat. Pohon raksasa ini, dengan ukuran dan ketinggiannya yang luar biasa, dianggap sebagai tempat tinggal bagi makhluk gaib atau jin. Keberadaan pohon yang begitu besar dan tinggi memberi kesan mistis yang mendalam, sehingga masyarakat merasa bahwa pohon tersebut memiliki hubungan khusus dengan dunia lain.

Dalam konteks kepercayaan tersebut, masyarakat mulai merasakan dampak negatif yang diduga berasal dari keberadaan makhluk gaib di pohon Seupeng. Banyak warga yang mengalami masalah kesehatan, khususnya penyakit kulit yang sulit disembuhkan. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan di kalangan penduduk, yang mulai mengaitkan penyakit yang mereka alami dengan gangguan dari makhluk ghaib yang dihuni oleh pohon tersebut.

Masyarakat berasumsi bahwa makhluk gaib ini mungkin membawa energi negatif yang mempengaruhi kesejahteraan mereka. Dengan anggapan bahwa penyakit kulit tersebut adalah hasil dari gangguan supranatural, warga pun merasa perlu melakukan berbagai ritual dan upacara untuk memohon perlindungan atau mengusir makhluk tersebut.

Dalam konteks kepercayaan masyarakat Gampong Ulee Cot Seupeng, terdapat dua kemungkinan yang dianggap akan terjadi sebagai dampak dari keberadaan pohon misterius tersebut. Keyakinan ini mencerminkan pandangan spiritual yang dalam dan kompleks terkait hubungan antara manusia, alam, dan entitas gaib.

1. Penyakit Berkelanjutan

Salah satu kemungkinan yang diyakini masyarakat adalah bahwa jika pohon Seupeng tidak ditebang, mereka akan terus mengalami penyakit berkepanjangan. Penyakit ini, yang sering disebut sebagai \"penyaket budouek\" dalam bahasa Aceh, merujuk pada gangguan kesehatan yang ditandai dengan rasa gatal pada kulit, yang mirip dengan lepra. Kepercayaan ini mencerminkan ketakutan masyarakat akan dampak negatif yang diyakini berasal dari aura supranatural pohon tersebut. Dalam pandangan mereka, keberadaan pohon yang dianggap dihuni oleh makhluk gaib dapat berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan gangguan kesehatan yang berkepanjangan, yang mengancam kesejahteraan fisik dan mental mereka.

2. Nasib Buruk Akibat Penebangan.

Di sisi lain, masyarakat juga percaya bahwa jika pohon Seupeng ditebang, mereka akan menghadapi nasib buruk yang berupa kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Keyakinan ini diungkapkan dengan istilah \"pusakapapa\" yang menandakan bahwa tindakan menebang pohon tersebut akan membawa malapetaka dalam bentuk ketidakberdayaan ekonomi. Masyarakat menganggap bahwa pohon tersebut memiliki kekuatan yang menjaga keseimbangan sosial dan ekonomi. Dengan menebangnya, mereka percaya bahwa kesejahteraan yang dimiliki akan hilang, dan masyarakat akan terjerumus ke dalam keadaan miskin dan serba kekurangan.

 Kedua kemungkinan ini menciptakan dilema yang signifikan bagi masyarakat. Di satu sisi, mereka dihadapkan pada risiko kesehatan yang serius jika pohon tidak ditebang; di sisi lain, jika mereka memilih untuk menebang pohon, mereka mungkin menghadapi konsekuensi yang lebih parah dalam aspek ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Dilema ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh kepercayaan lokal dalam membentuk tindakan dan keputusan masyarakat, serta bagaimana mitos dan legenda dapat menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya mereka.

Setelah melalui serangkaian musyawarah yang melibatkan partisipasi aktif dari warga setempat, masyarakat Gampong Seupeng akhirnya mencapai kesepakatan untuk menebang pohon Seupeng. Proses musyawarah ini menunjukkan betapa pentingnya partisipasi komunitas dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Berbagai pandangan dan pendapat warga diangkat, mencerminkan kekhawatiran serta harapan terhadap konsekuensi dari tindakan tersebut.

Ketika pelaksanaan penebangan pohon Seupeng dilakukan, masyarakat secara kolektif memilih untuk menebang pohon tersebut ke arah utara, atau dalam istilah lokal disebut \"ke-tunong.\" Keputusan ini bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi juga merupakan pertimbangan berdasarkan kepercayaan lokal dan pemahaman mengenai pengaruh arah jatuhnya pohon terhadap lingkungan sekitar.

Setelah pohon berhasil ditebang, pucuk atau ujung pohon tersebut jatuh di salah satu sawah milik penduduk Seupeng. Tempat di mana pohon tersebut tumbang kemudian dikenal dengan sebutan \"umong matei ikue.\" Penamaan ini mengandung makna simbolis yang dalam, mencerminkan hubungan erat antara masyarakat dengan tanah dan lingkungan mereka. Ujung pohon yang jatuh ini tidak hanya berfungsi sebagai pengingat akan sejarah dan keputusan kolektif, tetapi juga sebagai simbol perubahan dan adaptasi masyarakat terhadap kondisi yang ada.

Adapun lokasi umong matei ikue tersebut berbatasan dengan wilayah kedaulatan Bambi, yang terletak di Kecamatan Peukan Baro. Batas wilayah ini menunjukkan pentingnya pengaturan ruang dan tanah dalam konteks sosial, serta bagaimana elemen-elemen seperti penebangan pohon dapat memiliki implikasi lebih luas terhadap masyarakat dan ekosistem.

Secara keseluruhan, tindakan menebang pohon Seupeng mencerminkan dilema yang dihadapi masyarakat dalam mencari keseimbangan antara kesehatan, kesejahteraan ekonomi, dan hubungan spiritual mereka dengan alam. Keputusan ini, meskipun didasarkan pada keyakinan akan dampak negatif dari keberadaan pohon, juga membuka ruang bagi refleksi lebih lanjut mengenai cara pandang masyarakat terhadap lingkungan dan pentingnya kolaborasi dalam menghadapi tantangan bersama.

Beberapa bulan setelah penebangan pohon Seupeng, pucuk atau ujung pohon yang telah tumbang mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan dengan pertumbuhan yang menjulang ke atas di kebun yang kini dikenal sebagai Ulee Cot. Warga setempat, menyaksikan fenomena ini, merasa terinspirasi untuk mengabadikan peristiwa tersebut dengan memberi nama desa mereka \"Ulee Cot Seupeng.\"

Di sisi lain, beberapa tokoh masyarakat memberikan pandangan berbeda terkait pemberian nama Ulee Cot Seupeng sebagai nama desa (gampong). Mereka berpendapat bahwa penamaan ini juga dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya, di mana gampong tetangga seperti Gampong Seupeng Menasah Kabat, Seupeng Menasah Tengoeh, Gampong Blang Seupeng, dan Menasah Leuhop pada waktu itu belum memiliki masjid untuk beribadah, seperti untuk shalat Jumat dan shalat Tarawih di bulan Ramadhan.

Dari sekian banyak menasah (surau) di gampong-gampong tersebut, Menasah Gampong Seupeng dikenal sebagai yang paling besar dan luas. Kapasitas menasah ini cukup untuk menampung jamaah dari beberapa desa sekitar. Oleh karena itu, masyarakat tetangga memilih untuk melaksanakan shalat berjamaah, baik pada hari Jumat, shalat Tarawih, maupun pada hari raya, di Menasah Ulee Cot Seupeng.

Dari fenomena pertumbuhan kembali pohon Seupeng dan peran penting Menasah Gampong Seupeng sebagai pusat kegiatan ibadah bagi masyarakat sekitarnya, maka muncul kesepakatan untuk menamai desa ini sebagai Gampong Ulee Cot Seupeng. Nama ini mencerminkan kedudukan Gampong Seupeng sebagai induk desa (Ulee Gampong) di antara gampong-gampong lain, menandakan perannya yang vital dalam komunitas lokal. Dengan demikian, nama tersebut tidak hanya merepresentasikan identitas geografis, tetapi juga simbol dari solidaritas dan kebersamaan masyarakat dalam menjalankan aktivitas keagamaan dan sosial.

Meskipun kepercayaan tersebut mungkin dianggap sebagai mitos yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya, pesan yang terkandung dalam kisah ini mencerminkan dinamika bahasa dan budaya lokal. Nama-nama sering kali berkembang seiring interaksi sosial dan kebiasaan komunikasi masyarakat. Perubahan nama ini tidak hanya mencerminkan keterikatan masyarakat dengan alam, tetapi juga menunjukkan kekuatan dan kekayaan tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, Gampong Ulee Cot Seupeng bukan hanya sekadar entitas geografis, melainkan juga representasi dari sejarah, budaya, dan identitas komunitas yang kaya dan beragam.

MASA AWAL KEPEMIMPINAN ULEE COT SEUPENG

Pada tahun 1957, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Gampong Ulee Cot Seupeng dipimpin oleh Keuchik Mahmud (Alm), yang menjabat sebagai keuchik selama sekitar lima tahun. Di bawah kepemimpinan beliau, desa ini mengalami berbagai perkembangan, baik dalam aspek sosial maupun keagamaan.

Setelah masa kepemimpinan Keuchik Mahmud, roda kepemimpinan dipegang oleh Alm. Keuchik Yahya, yang lebih dikenal sebagai Keuchik Aya, sekitar tahun 1967. Pada periode ini, masyarakat Gampong Seupeng mengambil langkah penting dengan mendirikan masjid umum pertama di desa mereka, yang dinamakan Masjid Syuhada Seupeng. Nama \"Syuhada\" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti masjid bagi para pejuang yang telah mati syahid, sebuah penghormatan kepada mereka yang telah berjuang untuk kemerdekaan.

Peletakan batu pertama masjid ini dilakukan oleh Abu Bereueih (Alm), menandai awal pembangunan yang sangat berarti bagi masyarakat. Sumber pembiayaan untuk pembangunan Masjid Syuhada Seupeng sebagian besar berasal dari wakaf masyarakat, yang mencapai sekitar 90%. Komitmen warga untuk menyokong pembangunan masjid ini mencerminkan rasa kebersamaan dan kepedulian komunitas terhadap fasilitas ibadah.

Untuk mengabadikan surat wakaf tersebut, dokumen itu disimpan dalam botol kaca dan diletakkan di bawah anak tangga sebelah kanan masjid. Tindakan ini bertujuan untuk menyediakan bukti yang diperlukan jika di kemudian hari terjadi perselisihan atau polemik antara warga setempat.

Menurut keterangan warga, surat wakaf yang ditanam di anak tangga Masjid Syuhada Seupeng berisi keputusan Mahkamah Syari\'ah mengenai hak kepemilikan tanah. Keputusan ini muncul setelah terjadi polemik antara warga Gampong Seupeng dan pengelola Masjid Krueng Seumideun. Dalam surat tersebut juga tercantum struktur panitia pembangunan Masjid Syuhada Seupeng.

Awalnya, tanah yang kini menjadi lokasi Masjid Syuhada Seupeng diwakafkan untuk kemaslahatan Masjid Krueng Seumideun oleh salah satu penduduk Ulee Cot Seupeng. Pada waktu itu, Gampong Seupeng tidak memiliki masjid, dan satu-satunya masjid yang ada adalah Masjid Krueng Seumideun.

Seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan jumlah penduduk, serta jarak yang cukup jauh antara Seupeng dan Krueng Seumideun, masyarakat Seupeng mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah masjid. Setelah melalui proses musyawarah yang panjang, masyarakat akhirnya memutuskan untuk mendirikan masjid di atas tanah wakaf milik masyarakat Gampong Ulee Cot Seupeng. Meskipun pada awalnya panitia masjid Krueng Seumideun tidak setuju, melalui proses musyawarah di Mahkamah Syariah, akhirnya diputuskan bahwa pendirian masjid di Seupeng diperbolehkan.

 

ULEE COT SEUPENG SEBAGAI DESA PERCONTOHAN

Pada tahun 1987, Gampong Ulee Cot Seupeng dipimpin oleh Keusyik Habib Alwi. Namun, masa kepemimpinannya tidak bertahan lama. Habib Alwi harus hijrah ke Banda Aceh karena urusan pribadi yang mendesak, sehingga posisi kepemimpinan beralih kepada Sekretarisnya, Abdul Majid.

Pada tahun yang sama, Kabupaten Pidie dipimpin oleh Bapak Nurdin, yang juga merupakan pendiri Kampus Jabal Ghafur Sigli. Suatu ketika, saat dalam perjalanan menuju Kantor Bupati di Kota Sigli, Bupati Nurdin berhenti untuk mengamati proses pembangunan jalan rabat beton yang sedang dilaksanakan oleh masyarakat Ulee Cot Seupeng. Pembangunan jalan ini merupakan yang pertama kalinya menghubungkan jalan pintu masuk desa dari jalan Raya Banda Aceh-Medan menuju menasah Ulee Cot Seupeng (Lr. Menasah).

Bupati Nurdin tertarik dengan metode pembangunan yang diterapkan oleh masyarakat Seupeng, yang dinilai cukup unik dibandingkan dengan metode di desa-desa lain di Kabupaten Pidie pada saat itu. Sesuai dengan peraturan Bupati Nurdin mengenai mekanisme pembangunan jalan rabat beton, setiap proyek diwajibkan menggunakan bambu sebagai penahan di bagian bawah. Namun, masyarakat Gampong Ulee Cot Seupeng, yang dipimpin oleh Alm. Arifin Ali (Kepala Tukang), mengajukan ide kreatif untuk menggunakan besi ulir atau polos sebagai alternatif penahan yang lebih kuat.

Pemberian besi ulir atau polos C bertujuan untuk memberikan dukungan struktural yang lebih baik pada badan jalan, terutama ketika mengalami tekanan dari ban kendaraan. Dengan metode ini, jalan tidak hanya tahan terhadap kerusakan, tetapi juga dapat mencegah terjadinya deformasi. Keunggulan ini terbukti, hingga tahun 2015, badan jalan yang dibangun oleh masyarakat pada masa lalu tetap utuh dan kokoh.

Melihat efektivitas dan efisiensi dari metode tersebut, Bupati Nurdin menyampaikan apresiasi kepada masyarakat Seupeng. Ia memberikan pujian serta memberikan bonus berupa puluhan sak semen dan uang untuk konsumsi para pekerja. Selain itu, Bupati Nurdin juga menganugerahkan gelar \"Desa Percontohan\" kepada Gampong Seupeng sebagai pengakuan atas inovasi dan dedikasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.

Era Baru Masjid Syuhada Seupeng

Saat ini, Masjid Syuhada Seupeng sedang dalam proses renovasi. Nama masjid tersebut telah resmi berubah menjadi Masjid Baitil Izzah Syuhada Seupeng. Penamaan ini diberikan oleh Abu Kuta Krueng, seorang ulama karismatik Aceh, pada saat acara peletakan batu pertama. Acara tersebut juga dihadiri oleh Wakil Bupati Pidie, Fadlullah, S.E.

 Setelah melalui proses renovasi yang mencapai 80%, Masjid Syuhada Seupeng kini siap digunakan kembali untuk beribadah. Momen bersejarah ini dirayakan dengan peresmian masjid yang dijadwalkan pada tanggal 16 September 2024. Peresmian ini menjadi lebih istimewa karena dihadiri oleh ulama karismatik Pidie, Abu Gembang, yang dikenal luas di kalangan masyarakat.

Acara peresmian tidak hanya menjadi kesempatan untuk merayakan selesainya renovasi, tetapi juga bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang jatuh pada 12 Rabiul Awal 1446 Hijriah. Dalam suasana penuh berkah tersebut, masyarakat Seupeng berkumpul untuk mengikuti prosesi peresmian. Suara takbir dan pujian kepada Nabi mengisi udara, menandai awal baru bagi masjid yang telah lama menjadi pusat ibadah dan kegiatan sosial bagi warga desa.

Dengan semangat kebersamaan, para jamaah merasakan sukacita dan harapan baru saat mereka memasuki Masjid Syuhada yang telah diperbarui. Renovasi ini tidak hanya memberikan wajah baru bagi masjid, tetapi juga menguatkan ikatan komunitas dalam menjalankan ibadah dan mempererat tali persaudaraan di antara mereka. Momen ini menjadi simbol harapan dan keberkahan bagi seluruh masyarakat Seupeng.

DAFTAR NAMA-NAMA KEUSYIK ULEE COT SEUPENG DARI TAHUN KE TAHUN

1.  1957 – 1960             = Alm. Mahmud (Keusyik Mud)

2. 1960 – 1963             = Geusyik Ahmat (Anak Keusyik Mud)

3. 1963 – 1965             = Keusyik Wahab (Pak mukim Krueng Seumideun)

4. 1965 – 1970             = Alm. Yahya (Keusyik Aya)

5. 1970 – 1975             = Alm. Sarong (Geusyik Sarong)

6. 1975 – 1975             = Alm. Bugeih (Apa Bugeih/PJ )

7. 1976 – 1982             = Alm. Ali Husen (Pak Ali Tentra)

8. 1982- 1987               = Alm. Ali Abdurrahman

9. 1987 – 1993             = Alm. Habib Alwi/ Alm. Abdul Majid

10. 1993 – 1998           = Ibrahim Ishak (Cut Him)

11. 1998 – 2001           = Alm. Bustami (Ampon Boih)

12.  2001 – 2006         = H. Nasir

13.  2006 – 2012         = Zakaria Sarong

14.  2012 – 2018         = M. Yusuf Ahmad ( Abu Sop)

15.  2018 – 2024         = Tgk. Ayani

16.  2024 – 2030         = Muhammad Hidayat (Saat ini)

Bersambung,,,,

 

Referensi:

Sejarah ini dikutib dari para Tokoh Asli Gampong Ulee Cot Seupeng secara bertahap yaitu:

Almahum Abdul  Majid, (2007)

Almahum, Abdul Ghani/ Abua Gani, (2010)

 Almahum, Sarjani (Ampon Badai (2017)

Almahu, Zainal Abidin, (2017)

Bapak Anwar S.E/Pak Wan, (2018)

Hananan / Abua Nan, (2018)





Ulee Cot Seupeng

Alamat
Jl. Banda Aceh Medan Kilometer 118
Phone
Telp. +62 823-7000-3506, Fax. 0651 - 7554636
Email
[email protected]
Website
uleecotseupeng.sigapaceh.id

Kontak Kami

Silahkan Kirim Tanggapan Anda Mengenai Website ini atau Sistem Kami Saat Ini.

Total Pengunjung

20.355